TAK lama lagi Pilkada 2018 digelar secara serentak di 171 daerah di Indonesia. Sebelum hari pemilihan, masa kampanye merupakan momen yang paling menyita perhatian. Pada masa kampanye, kandidat diberi kesempatan untuk menunjukkan gagasan kebijakan dan program. Harapannya, gagasan dan program yang mereka tawarkan bakal menjadi referensi pemilih.
Namun, belakangan kampanye acap dicirikan amat negatif, tidak etis, dan brutal oleh masyarakat (Lipsitz, Trost, Grossmann, & Sides, 2005). Masyarakat skeptis karena janji-janji kampanye sering minim realisasi setelah kepala dan wakil kepala daerah tersebut terpilih.
Muatan kampanye kandidat kepala daerah biasanya berkutat pada isu kesejahteraan, kemiskinan, dan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan dan papan). Problem kesehatan jarang sekali dimunculkan. Padahal, isu kesehatan adalah tantangan aktual, amat erat berkaitan dengan kesejahteraan. Kebijakan sektor kesehatan juga amat minim inovasi apabila dibandingkan dengan sektor yang lain.
Masih hangat dalam ingatan kita, kejadian luar biasa (KLB) difteri di 142 kabupaten/kota di 28 provinsi yang disebut-sebut sebagai wabah difteri terbesar dunia. Difteri menjangkiti sedikitnya 600 orang penderita, 38 pasien di antara dinyatakan meninggal. Belum lagi yang paling menyita perhatian media, KLB campak dan gizi buruk di Agast, Kabupaten Asmat, Papua. Puluhan balita meninggal karena wabah campak yang menyebar di 23 distrik dengan total sekitar 471 penderita. Kedukaan itu juga ditambah masih peliknya realisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menuju cakupan nasional. Pemerintah sejatinya juga berusaha meningkatkan status kesehatan masyarakat melalui Germas (Gerakan Masyarakat Sehat) dengan melakukan upaya kesehatan berbasis keluarga. Namun, rupanya, upaya tersebut masih jauh dari cukup.
Isu kesehatan dalam kampanye politik, terutama di Indonesia, cenderung menjadi isu perifer apabila dibandingkan dengan isu pendidikan dan ekonomi, terutama setelah diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) (Rathomi, 2016). Isu kesehatan masih sering dipersempit menjadi kualitas pelayanan kesehatan. Padahal, penanganan masalah kesehatan hanya bisa dilakukan secara multisektoral, tidak semata-mata tanggung jawab otoritas kesehatan (Bambra et al., 2005; Oliver, 2006). Kepuasan masyarakat atas kualitas layanan kesehatan selalu ditentukan pada upgrade infrastruktur pelayanan kesehatan sehingga program tersebut biasanya dijadikan pilihan pragmatis untuk mendulang suara.
Alih-alih membuat program yang strategis dan berkesinambungan, kampanye politik kandidat kepala dan wakil kepala daerah malah sering menonjolkan aspek transaksional dengan menjajakan layanan kesehatan gratis. Isu yang terakhir itu sesungguhnya sudah tidak relevan pada era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Masyarakat harus mendapat gagasan program dan kebijakan kesehatan yang lebih inovatif dan variatif.
Menawarkan inovasi dalam program kesehatan sebagai jalan untuk mendongkrak elektabilitas perlu menjadi strategi yang penting bagi para kandidat. Kandidat kepala dan wakil kepala daerah tidak boleh lagi menjadikan isu kesehatan sebagai isu perifer. Akibat derasnya arus informasi, masyarakat menjadi kian kritis sehingga para kandidat harus benar-benar menawarkan program yang berkualitas, yang bisa menjawab tantangan masalah kesehatan dalam beberapa tahun ke depan.
Pembangunan kesehatan yang baik berawal dari komitmen pengalokasian anggaran pada program yang berkelanjutan. Komitmen calon kepala daerah juga dari awal harus dipastikan untuk mengalokasikan 10 persen dari total APBD guna program kesehatan, sesuai dengan amanat undang-undang. Filosofi utama program kesehatan harus dilandasi tiga nilai; berorientasi pada pencegahan, mendorong adopsi gaya hidup sehat, dan mewujudkan keadilan sosial dengan mendorong pemerataan. Program kesehatan harus lebih banyak diwujudkan dalam upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM).
Kandidat kepala daerah pada masa kampanye disarankan untuk tidak lagi menggunakan gaya kampanye populis yang sekadar menjanjikan upgrade infrastruktur pelayanan kesehatan, apalagi menggratiskan layanan kesehatan kepada masyarakat. Menjual program penggratisan layanan kesehatan merupakan blunder fatal karena program tersebut ada sejak dulu. Yang juga harus dihindari oleh para kandidat ialah melakukan banyak ’’terobosan’’ program kesehatan tanpa memperhatikan prinsip dasar pengelolaan anggaran. Kesalahan seperti itu sering mengakibatkan pembangunan kesehatan di daerah stagnan.
Pada akhirnya, komitmen kandidat terhadap pembangunan kesehatan bisa dilihat dari dua aspek, yaitu filosofi pengalokasian anggaran dan ketepatan sasarannya. Potensi anggaran daerah harus lebih banyak didorong untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan, pemerataan tenaga kesehatan, respons aktif pada kasus dan kegawatdaruratan bencana kesehatan, serta perbaikan pencatatan data kesehatan. Semua hal tersebut harus diikuti dengan menjadikan kesehatan sebagai arus utama fokus pembangunan daerah, dengan mendorong masyarakat mengadopsi gaya hidup sehat. Hal itulah yang seharusnya lebih banyak dieksplorasi oleh para kandidat ketika berkampanye daripada menjajakan janji kampanye kesehatan gratis, atau upgrade pelayanan kesehatan yang sebenarnya tidak lagi relevan.
*) Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya